Suku Minangkabau atau
Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi
Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau
orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara'
basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an)
merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang
pendidikan dan perdagangan. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota suku
ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang,
dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di
Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan
bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan
masakan Padang, sangatlah digemari.
Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan berikut daerah perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik, yang menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.
Berbeda
dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut
sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan,
warisan, dan sebagainya
Berdasarkan
historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat,
timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya
Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan
Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh
Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten
Aceh Tenggara),
hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya
Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para
reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya
Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori
oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang
yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk
berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu
kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat
Minang.
Reformasi
budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini
ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh
adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat
untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut
tertuang dalam adagium Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat,
syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya
dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di
Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap
kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan
keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri pencak silat.
Harta
pusaka
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis
harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka
tinggi merupakan warisan turun-temurun dari leluhur yang dimiliki oleh suatu
keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian
seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam.
Harta pusaka tinggi adalah harta milik
seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak
perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak
pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari
harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil,
mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.
Harta pusaka tinggi tidak boleh
diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi
hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum,
diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan
kepada suku lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat
hal:
·
Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum
bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak
wanita, sementara umurnya sudah telat.
·
Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di
atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah
yang harus segera dikuburkan.
·
Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah,
sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
·
Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang
terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan
penghulu (datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke
tingkat yang lebih tinggi.
Masakan
Memasak
makanan yang lezat merupakan salah satu budaya dan kebiasaan masyarakat
Minangkabau. Hal ini dikarenakan seringnya penyelenggaraan pesta adat, yang
mengharuskan penyajian makanan yang nikmat. Masakan Minangkabau tidak hanya
disajikan untuk masyarakat Minangkabau saja, namun juga telah dikonsumsi oleh
masyarakat di seluruh Nusantara. Orang-orang Minang biasa menjual
makanan khas mereka seperti rendang, asam pedas, soto padang, sate padang, dan dendeng balado di rumah makan yang biasa dikenal
dengan Restoran Padang. Restoran Padang tidak hanya tersebar
di seluruh Indonesia, namun juga banyak terdapat di Malaysia, Singapura, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Rendang salah satu
masakan khas Minangkabau, telah dinobatkan sebagai masakan terlezat di dunia
Masakan
Minangkabau merupakan masakan yang kaya akan variasi bumbu. Oleh karenanya
banyak dimasak menggunakan rempah-rempah seperti cabai, serai, lengkuas,
kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Kelapa merupakan salah satu unsur
pembentuk cita rasa masakan Minang. Bahan utama masakan Minang antara lain
daging sapi, daging kambing, ayam, ikan, dan belut. Orang Minangkabau hanya
menyajikan makanan-makanan yang halal, sehingga mereka menghindari alkohol dan
lemak babi. Selain itu masakan Minangkabau juga tidak menggunakan bahan-bahan
kimia untuk pewarna, pengawet, dan penyedap rasa. Teknik memasaknya yang agak
rumit serta memerlukan waktu cukup lama, menjadikannya sebagai makanan yang
nikmat dan tahan lama.
Bahasa Minangkabau (bahasa Minang: baso
Minang) adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa Melayu yang dituturkan
oleh Orang Minangkabau sebagai bahasa ibu khususnya di provinsi Sumatera Barat (kecuali kepulauan Mentawai), pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, bagian barat provinsi Riau, bagian utara Jambi dan Bengkulu, serta Negeri Sembilan, Malaysia. Bahasa Minang dihipotesiskan sebagai
bahasa Melayik, seperti halnya Bahasa Banjar, Bahasa Betawi, dan Bahasa Iban.
Sempat terdapat pertentangan mengenai
hubungan Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu. Sebagian pakar bahasa menganggap Bahasa
Minangkabau sebagai salah satu dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tutur di dalamnya. Sementara
yang lain justru beranggapan bahwa bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang
berbeda dengan Bahasa Melayu.
Kerancuan ini disebabkan karena Bahasa Melayu
dianggap satu bahasa. Kebanyakan pakar kini menganggap Bahasa Melayu bukan satu
bahasa, tetapi merupakan satu kelompok bahasa dalam rumpun bahasa Melayik. Di mana Bahasa
Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang ada dalam kelompok Bahasa Melayu tersebut.
Bahasa Minang masih digunakan sebagai bahasa
sehari-hari oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdomisili di Sumatera maupun di
perantauan. Namun untuk masyarakat Minangkabau yang lahir di perantauan,
sebagian besar mereka telah menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu
dalam percakapan sehari-hari.
Pakaian Adat Sumatera Barat
Selain
masakannya yang sangat familiar baik di kancah nasional, maupun mancanegara,
Sumatera Barat juga dikenal memiliki kebudayaan yang sangat menarik. Kebudayaan
yang terpupuk subur sejak masa silam tersebut hingga kini bahkan tetap terjaga
dengan baik. Masyarakat suku Minangkabau dari provinsi yang beribukota di kota
Padang ini memang diketahui sangat kuat dalam mempertahankan adat dan
budayanya. Salah satu adat dan budaya tersebut misalnya dalam hal berpakaian.
Pakaian
Adat Sumatera Barat Pakaian adat Sumatera Barat yang sangat dikenal di kancah
nasional sebetulnya sebuah pakaian yang sangat sederhana. Pakaian yang bernama
pakaian Bundo Kanduang atau Limapeh Rumah
Nan Gadang ini memiliki keunikan terutama pada bagian penutup kepalanya
yang berbentuk menyerupai tanduk kerbau atau atap rumah gadang. Bundo kanduang
sendiri merupakan pakaian adat Minangkabau yang dikenakan oleh para wanita yang
telah menikah. Sementara untuk para pria maupun untuk sepasang pengantin,
dikenal pula beberapa jenis pakaian lainnya. Berikut ini kami akan membahas
tentang pakaian-pakaian adat Sumatera Barat tersebut secara lengkap beserta nilai-nilai
filosofinya:
Yang
pertama adalah Pakaian Limpapeh Rumah Nan Gadang atau sering pula disebut
pakaian Bundo Kanduang. Pakaian ini merupakan lambang kebesaran bagi para
wanita yang telah menikah. Pakaian tersebut merupakan simbol dari pentingnya
peran seorang ibu dalam sebuah keluarga. Limapeh sendiri artinya adalah tiang
tengah dari bangunan rumah adat Sumatera Barat. Peran limapeh dalam
mengokohtegakan bangunan adalah analogi dari peran ibu dalam sebuah keluarga.
Jika limapeh rubuh, maka rumah atau suatu bangunan juga akan rubuh, begitupun
jika seorang ibu atau wanita tidak pandai mengatur rumah tangga, maka
keluarganya juga tak akan bertahan lama. Secara umum, pakaian adat Bundo
Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang memiliki desain yang berbeda-beda dari
setiap nagari atau sub suku. Akan tetapi, beberapa kelengkapan khusus yang
pasti ada dalam jenis-jenis pakaian tersebut. Perlengkapan ini antara lain
tingkuluak (tengkuluk), baju batabue, minsie, lambak atau sarung, salempang,
dukuah (kalung), galang (gelang), dan beberapa aksesoris lainnya. Tingkuluak (Tengkuluk) adalah sebuah
penutup kepala yang bentuknya menyerupai kepala kerbau atau atap rumah gadang.
Penutup kepala yang terbuat dari kain selendang ini dikenakan sehari-hari
maupun saat dalam upacara adat. Baju
Batabue atau baju bertabur adalah baju kurung (naju) yang dihiasi dengan
taburan pernik benang emas. Pernik-pernik sulaman benang emas tersebut
melambangkan tentang kekayaan alam daerah Sumatera Barat yang sangat berlimpah.
Corak dari sulaman inipun sangat beragam. Baju batabue dapat kita temukan dalam
4 varian warna, yaitu warna merah, hitam, biru, dan lembayung. Pada bagian tepi
lengan dan leher terdapat hiasan yang disebut minsie. Minsie adalah
sulaman yang menyimbolkan bahwa seorang wanita Minang harus taat pada
batas-batas huku adat. Lambak atau
sarung merupakan bawahan pelengkap pakaian adat Bundo Kanduang. Sarung
ini ada yang berupa songket dan ada pula yang berikat. Sarung dikenakan
menutupi bagian bawah tubuh wanita dengan cara diikat pada pinggang. Belahannya
bisa disusun di depan, samping, maupun belakang tergantung adat Nagari mana
yang memakainya. Salempang adalah
selendang biasa yang terbuat dari kain songket. Salempang di letakan di pundak
wanita pemakainya. Salempang menyimbolkan bahwa seorang wanita harus memiliki
welas asih pada anak dan cucu, serta harus waspada akan segala kondisi.
Perhiasan Lazimnya pakaian adat wanita dari daerah lain, penggunaan pakaian
adat Sumatera Barat untuk wanita juga dilengkapi dengan beragam aksesoris.
Aksesoris tersebut misalnya dukuah (kalung), galang (gelang), dan cincin.
Dukuah ada beberapa motif, yaitu kalung perada, daraham, kaban, manik pualam,
cekik leher, dan dukuh panyiaram. Secara filosofis, dukuah melambangkan bahwa
seorang wanita harus selalu mengerjakan segala sesuatu dalam azas lingkaran
kebenaran. Sementara motif galang antara lain galang bapahek, kunci maiek,
galang rago-rago, galang ula, dan galang basa. Pemakaian gelang memiliki
filosofi bahwa seorang wanita memiliki batasan-batasan tertentu dalam melakukan
aktivitasnya.
2.
Baju Tradisional Pria Minangkabau
Pakaian
adat Sumatera Barat untuk para pria bernama pakaian penghulu. Sesuai namanya,
pakaian ini hanya digunakan oleh tetua adat atau orang tertentu, dimana dalam
cara pemakaiannya pun di atur sedemikian rupa oleh hukum adat. Pakaian ini
terdiri atas beberapa kelengkapan yang di antaranya Deta, baju hitam, sarawa,
sesamping, cawek, sandang, keris, dan tungkek. Deta atau destar adalah sebuah penutup kepala yang terbuat dari
kain hitam biasa yang dililitkan sedemikian rupa sehingga memiliki banyak
kerutan. Kerutan pada deta melambangkan bahwa sebagai seorang tetua, saat akan
memutuskan sesuatu hendaknya terlebih dahulu ia dapat mengerutkan dahinya untuk
mempertimbangkan segala baik dan buruk setiap keputusannya itu. Adapun
berdasarkan pemakainya, deta sendiri dibedakan menjadi deta raja untuk para
raja, deta gadang dan deta saluak batimbo untuk penghulu, deta ameh, dan deta
cilieng manurun. Baju penghulu
umumnya berwarna hitam. Baju ini dibuat dari kain beludru. Warna hitamnya
melambangkan tentang arti kepemimpinan. Segala puji dan umpat harus dapat
diredam seperti halnya warna hitam yang tak akan berubah meski warna lain
menodainya. Sarawa adalah celana
penghulu yang juga berwarna hitam. Celana ini memiliki ukuran yang besar pada
bagian betis dan paha. Ukuran tersebut melambangkan bahwa seorang pemimpin adat
harus berjiwa besar dalam melaksanakan tugas dan mengambil keputusan. Sasampiang adalah selendang merah
berhias benang makau warna warni yang dikenakan di bahu pemakainya. Warna merah
selendang melambangkan keberanian, sementara hiasan benang makau melambangkan
ilmu dan kearifan. Cawek atau ikat
pinggang berbahan kain sutra yang dikenakan untuk menguatkan ikan celana sarawa
yang longgar. Kain sutra pada cawek melambangkan bahwa seorang penghulu harus
cakap dan lembut dalam memimpin serta sanggup mengikat jalinan persaudaraan
antar masyarakat yang dipimpinnya. Sandang
adalah kain merah yang diikatkan dipinggang sebagai pelengkap pakaian adat
Sumatera Barat. Kain merah ini berbentuk segi empat, melambangkan bahwa seorang
penghulu harus tunduk pada hukum adat. Keris dan Tongkat Keris diselipkan di
pinggang, sementara tungkek atau tongkat digunakan untuk petunjuk jalan. Kedua
kelengkapan ini adalah simbol bahwa kepemimpinan merupakan amanah dan tanggung
jawab besar.
Selain
baju bundo kanduang dan baju penghulu, ada pula jenis pakaian adat Sumatera
Barat lainnya yang umum dikenakan oleh para pengantin dalam upacara pernikahan.
Pakaian pengantin ini lazimnya berwarna merah dengan tutup kepala dan hiasan
yang lebih banyak. Hingga kini, pakaian tersebut masih kerap digunakan tapi
tentunya dengan sedikit tambahan modernisasi dengan gaya atau desain yang lebih
unik.
I. TRADISI DAN
UPACARA SEPANJANG KEHIDUPAN MANUSIA :
Sebagaimana kita
ketahui bahwa dalam kehidupan manusia semenjak ia lahir – berjodoh hingga
meninggalkan dunia yang fana ini berlaku kebiasaan dan tradisi yang telah
memberi warna perlakuan peribadi dan masyarakatnya, di dalam berinteraksi
sesama. Kemudian tradisi yang dipraktekkan dalam Nagari-nagari di Ranah Minang
menjadi kebiasaan serta menjadi kekayaan amat berharga dalam khazanah budaya
minangkabau.
Faktor penghayatan
lahiriah dalam melaksanakan adat bersendi syariat, yang menjadikan adat
minangkabau menyatu didalam ajaran Islam, sehingga menjadi sempurnalah kehidupan
awal manusia minangkabau hingga akhir dari suatu kehidupan, dalam tatatanan
adat bersendi syara’ syara’ bersedi kitabullah. Ajaran Islam akan lebih banyak
berbicara didalam pola dan tingkah laku masyarakat dari daripada konsep-konsep
yang bersifat teoritis. Kearah ini kompilasi syariat islam dalam khazanah
budaya Minangkabau semestinya mengarah.
Upacara-upacara
yang dipraktekkan dalam tradisi di Minangkabau adalah
1. Upacara
kehamilan ;
Ketika roh
ditiupkan kedalam seorang ibu pada saat janin berusia 16 minggu, maka disaat
inilah bebera kalangan masyarakat mengharapkan doa dari kerabatnya. Pengertian
kerabat disini terdirin dari para ipar dan besan dari masing-masing pasangan
isteri.
Seperti pada
umumnya setiap hajad kebaikan – maka keluarga yang akan membangun kehidupan
baru menjadi pasangan keluarga sakinah ma waddah wa rahmah memohon kepada Yang
Maha Kuasa agar awal kehidupan janin membawa harapan yang dicita-citakan.
2. Upacara Karek
Pusek (Kerat pusat) :
Sebetulnya tidak
memerlukan upacara yang khusus pada saat dilakukan pemotongan tali pusat ini,
karena merupakan upaya dari kalangan medis dalam memisahkan pusar bayi dengan
placenta ibunya. Belum diketemukan upacara khusus untuk melakukan hal ini.
3. Upacara Turun
Mandi dan Kekah (Akekah) :
Sering upacara ini
dilakukan dengan tradisi tertentu diantara para ipar – besan dan induk bako
dari pihak si Bayi. Induk Bako – si Bayi akan memberikan sesuatu kepada sang
bayi sebagai wujud kasih sayangnya atas kedatangan bayi itu dalam keluarga
muda.
Umumnya Induk bako
dan kerabatnya akan memberikan perhiasan berupa cincin bagi bayi laki-laki atau
gelang bagi bayi perempuan serta pemberian lainnya.
4. Upacara Sunat
Rasul :
Apabila seorang
anak laki-laki telah cukup umur dan berkat dorongan kedua orang tuanya, maka seorang
anak akan menjalani khitanan yang di Ranah Minang disebut “ Sunat Rasul.
Sunat rasul
mengandung pengharapan dari kedua orang tuanya agar anak laki-lakinya itu
menjadi anak yang dicita-citakan serta berbakti kepada kedua orang tua.
Saat ini telah menjadi
trend baru di kalangan masyarakat, yang kemudian melahirkan tradisi baru
dikalangan atas masyarakat minangkabau – melalui pennyelenggaraan upacara
tertentu seperti perhelatan. Anak laki-laki yang sudah dikhitankan itu
didudukkan di sebuah pelaminan seperti pengantin.
Sebenarnya ini
bukanlah kebiasaan yang menjadi tradisi dalam masyarakat minangkabau namun
keboleh jadian bahwa tradisi merupakan hasil asimilisai dari berbagai etnis
yang hidup di Indonesia. Ssuatu saat akan menjadi tradisi pula dikalangan
masyarakat minangkabau.
5. Masa Mengaji di Surau dan upacara masa remaja
laki-laki :
Surau mengandung
tempat tinggal dan tempat pembelajaran bagi anak laki disaat ia remaja. Setelah
melalui upacara-upacara pada masa kehamilan dan sampai lahir dan seterusnya
maka dilanjutkan dengan acara-acara semasa remaja dan terutama sekali bagi anak
laki-laki. Pada masa remaja ada pula acara-acara yang dilakukan berkaitan
dengan ilmu pengetahuan adat dan agama. Upacara-upacara semasa remaja ini
adalah sbb:
1. Manjalang guru
(menemui guru) untuk belajar. Orang tua atau mamak menemui guru tempat anak
kemenakannya menuntut ilmu. Apakah guru dibidang agama atau adat. Anak atau
keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang
diingini.
2. Balimau.
Biasanya murid yang dididik mandi berlimau dibawah bimbingan gurunya. Upacara
ini sebagai perlambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu
kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
3. Batutue
(bertutur) atau bercerita. Anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara
gurunya bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama.
4. Mengaji adat
istiadat. Didalam pelajaran ini anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan
dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
5. Baraja tari sewa
dan pancak silek (belajar tari sewa dan pencak silat). Untuk keterampilan dan
ilmu beladiri maka anak didik berguru yang sudah kenamaan.
6. Mangaji halal jo
haram (mengaji halal dengan haram). Pengetahuan ini berkaitan dengan pengajaran
agama.
7. Mengaji nan
kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso (mengaji yang kurik
kundi nan merah sago, yang baik budi nan indah baso), pengajaran yang berkaitan
dengan adat istiadat dan moral.
8. Tamat Kaji
(khatam Qur’an) :
Biasanya seseorang
yang telah menamatkan kaji (khatam Qur’an), maka terlebih dahulu dilakukan
pengujian terhadap kemampuan membaca itu dihadapan majelis Surau. Seorang akan
mendengar kemampuan tajwit dan makhraj untuk meyakini bahwa seorang anak yang
telah menamatkan AlQur’an itu, telah lulus didalam pengkhataman Al Qur’an nya.
Sebagai rasa
syukur, maka para jemaah di Surau itu akan merayakan dalam bentuk pemberian doa
selamat kepada si murid. Umumnya beberapa kekeluarga di Minangkabau secara
kolektif dan bersama menyediakan penganan khas daerah setempat.
7. Melepas Pergi
Merantau : dibahas pada mengapa “ orang minang pergi merantau”.
II. PERKAWINAN :
Menikah : dibahas
secara rinci dalam kategori “ Adat Perkawinan
Pada umumnya
masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam masalah nikah
kawin sudah tentu dilakukan sepanjang Syarak. Dalam pelaksanaan nikah kawin
dikatakan “nikah jo parampuan, kawin dengan kaluarga”. Dengan pengertian ijab
kabul dengan perantaraan walinya sepanjang Syarak, namun pada hakekatnya
mempertemukan dua keluarga besar, dua kaum, malahan antara keluarga nagari.
Pada masa dahulu perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak
membiarkan atas kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang
dilakukan adalah:
1. Pinang-maminang
(pinang-meminang)
2. Mambuek janji
(membuat janji)
3. Anta ameh (antar
emas), timbang tando (timbang tando)
4. Nikah
5. Jampuik anta
(jemput antar)
6. Manjalang,
manjanguak kandang (mengunjungi, menjenguk kandang). Maksudnya keluarga
laki-laki datang ke rumah calon istri anaknya
7. Baganyie
(merajuk)
8. Bamadu (bermadu)
Dalam acara
perkawinan setiap pertemuan antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki
tidak ketinggalan pidato pasambahan secara adat.
III. KEMATIAN DAN
TATA CARA PENYELENGGARAAN
Akhir kehidupan di
dunia adalah kematian. Pada upacara yang berkaitan dengan kematian tidak
terlepas dari upacara yang berkaitan dengan adat dan yang bernafaskan
keagamaan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan sesudah kematian adalah:
1. Sakik basilau,
mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk)
2. Anta kapan dari
bako (antar kafan dari bako)
3. Cabiek kapan,
mandi maik (mencabik kafan dan memandikan mayat)
4. Kacang pali (mengantarkan
jenazah kek kuburan)
5. Doa talakin
panjang di kuburan
6. Mengaji tiga
hari dan memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh
hari, seratus hari dan malahan yang keseribu hari.
Pada masa dahulu
acara-acara ini memerlukan biaya yang besar.
0 komentar:
Posting Komentar